Saturday 11 December 2010

tentang beratus-ratus kilometer dari ibukota #2

Nah, apakah yang terjadi selanjutnya setelah gue bersumpah palapa di antrian loket itu?..

Pulang ke rumah. Tidur. Pegel cuy nyetir senen-setu naek motor...

Akhirnya hari yang ditunggu pun tiba!. Gue dan mitra bolang bersuka cita menyambut keberangkatan kami. Saking girangnya gue ampe lupa kereta bedebah kebanggaan mitra gue itu masih bisa membuat gue kejang-kejang. Dengan riang gue pamitan sama nyokap, menggendong daypack northface 40Lt pinjaman Om Tok dengan pongahnya..


Setibanya di kosan mitra, kami sepakat akan berangkat ke stasiun Senen pada pukul 5 (iya nggak sih, cuk?). Sebelumnya gue bertugas membayarkan uang pendaftaran wisata jelajah gunung (yang nantinya akan menjadi wisata terkonyol dan terngglinani sepanjang hidup gue) di bank. Dan si mitra ini entah kemana, pokoknya tau-tau pas berangkat dia udah bawa coklat toblerone 3 biji (yg akhirnya abis sama gue).

Singkat cerita, pukul 5 pun tiba. Gue dan mitra bolang berangkat menuju stasiun senen dengan menggunakan kereta ekspress. Turun di stasiun cikini, kemudian lanjut naik metromini ke stasiun senen. Mitra dengan bijaknya mengiyakan ajakan buat naik kereta ekspress, karena dia tau betul perjalanan kereta selanjutnya akan menyiksa batin. Untuk hal ini, dia bijak. Selebihnya, dia patut diinjak. Gue belom pernah turun di stasiun cikini, gue kira cikini itu sangat jauh. Dan memang cikini itu jauh, bodohnya...gue nggak ngeh kalo kereta yg gue naiki ini judulnya : EKSPRESS. Gue dan mitra sibuk dengan headset masing-masing, terlena dengan alunan lagu masing-masing. Sampai pada akhirnya..

"CIKINIIIIIIIIIIIIIIIII!!!".

Gue teriak kenceng sambil nunjuk plang stasiun bertuliskan 'CIKINI'. Orang-orang di sebelah kami kontan nengok panik tanpa alasan yg pasti. Kalo nggak teriak superkenceng, mungkin gue dan mitra akan terdampar di stasiun entah mana.

Pukul 9 WIB. Akhirnya kereta itu datang. Mitra bolang menyambut dengan suka cita, sementara gue menyambut dengan suka duka. Kesana kemari kami bertanya ttg gerbong kereta kami. Habisnya semua gerbong tulisannya sama : K3-3. Kami bertanya pada hampir lebih dari 3 orang yang berbeda. Dan jawabannya pun beda-beda. ASEMIK!, mau bikin gue repot apah. Kemudian kami masuk ke gerbong kereta yg ditunjuk oleh salah satu petugas. Tergopoh-gopoh seperti nenek-nenek renta. Susah cing jalannya, daypack dibelakang ketarik-tarik orang. Bener kan apa kata gue?. Kereta sudra ini kejam. Mau jalan aja susah. Setelah struggle dan adu kuat sama sekian banyak penumpang. Ketemulah seat kami berdua. Buru-buru gue tarok daypack di cabin luggage (istilah kerennya)...

Yang duduk di depan gue ini adalah seorang ibu-ibu egosentris yg dengan santainya ngelonjorin kakinya di kursi gue. Gue menatap ibu-ibu itu tidak rela. Gue juga bayar di kereta ini, bos!. Sepanjang perjalanan gue terus menatap kaki ibu-ibu itu dengan tidak rela. Dan mitra bolang tampak senang melihat berbagai macam stasiun pada malam itu. Sementara gue?.Terkena serangan maag akut..

Sial.

Suek.

Kampret.

Asemik.

Anjrit.

Serangan perut melilit ini mendera tiap 5 menit sekali. Dan berengseknya, mitra gue yang nggak tau diri ini bisa-bisanya tidur nyenyak. Pada jam-jam pertama dia memang ngemong gue penuh perhatian. Jam-jam berikutnya?, dia bahkan tidur senderan di pundak gue. Pengen gue lempar keluar jendela tu anak. Dari sekian banyak obat-obatan di tas p3k. Kenapa gue gak bawa obat maag?, buodoh kuadrat. Belum selesai penderitaan gue akan maag akut ini. Datang satu kejutan besar...

"Seorang nenek-nenek tua datang dan duduk di seat kami"
Gue diem. Langsung teringat akan sumpah palapa di antrian loket. Nenek itu pakai kebaya, dengan satu tas kecil berisi pakaian, dan satu botol aqua kecil yg isinya air teh. Sepanjang jalan gue nggak henti-hentinya questioning : ini neneknya siapa?, mana anak-anaknya?, mana cucu-cucunya?, kenapa nggak ada yg nemenin?, kemana tujuan si nenek ini?. Perpaduan antara maag dan si nenek ini lumayan bikin depresi. Gimana nggak?. Nenek ini ternyata nggak beli 'kursi', dia cuma beli tiket biasa. So basically, she dont get the seat of her own. Ahhhh, gue mendadak memikirkan si nenek. Gimana kalo nanti orang yg beli seat di sebelah kami datang?. Nenek mau duduk dimana?. Akhirnya muncul satu ide yg jelas bertolak belakang sama sumpah palapa gue :

"nyet, kalo ntar punya seat ini dateng dan gak mau ngalah. Kita ganti-gantian duduk di bawah ya, biar si mbah bisa duduk"

Satu hal yg gue dapet dari si nenek. Gue nggak tau gimana kehidupan si nenek. Pokoknya si nenek pergi ke jawa naik kereta yang bejubel ini, nggak beli seat, duduk di sebelah kami, sendirian tanpa ditemani sanak saudara. Beberapa uang lembaran yang jumlahnya nggak seberapa beliau belikan kacang rebus di kereta. Mungkin selebihnya buat ongkos nanti setiba di kampungnya. We should be thankfull of what we have. If this granny can be so easy traveling by this train, why cant I? :)

No comments:

Post a Comment