Saturday 11 December 2010

tentang beratus-ratus kilometer dari ibukota #3

Gue tiba di stasiun Lempuyangan jam 8 pagi tepat. Ya, semalaman itu gue menggeliat seperti cacing kena garem. Dan semaleman itu jugak mitra bolang gue tidur nyenyak senderan di pundak gue. Minta diinjek kan ni anak?!. Keluar dari stasiun gue dan mitra buru-buru mencari promaag di toko terdekat. Dan saat itu juga gue baru tau kalo ternyata promaag itu : OBAT KUNYAH. Duh, Gusti..cobaan apa lagi ini


Anyway, kami menuju rumah mbahnya mitra dengan menggunakan ojek dengan biaya 17.000 rupiah. Ini suatu barokah setelah siksaan maag tanpa henti, karena biasanya biaya ojek dari stasiun ke bantul itu bisa sampe 50.000.


Dan saudara-saudara, gue kira Bantul itu masih agak seperti depok atau bekasi lah yaaa. Tapi begitu gue sampe sana. Jeng..jeng...jengggggg...sawah di segala penjuru. Rumah mbahnya si mitra bahkan masih tergolong rumah 'dulu'. Di Bantul, banyak petani yang bikin batu bata dari gerabah padi. Banyak lumbung-lumbung di sawah yang dipake buat nyusun bata gerabah yg udah dibuat. Di depannya banyak cetakan-cetakan bata. Ternyata di sini kalo mau bikin rumah bisa pake bata buatan sendiri, bahkan mbahnya si mitra punya kebon jati yg kayunya bisa dipake buat bikin rumah jugak. Ini superb, saudara sekalian. Mbahnya mitra juga memelihara beberapa sapi. Kandangnya pas bener di belakang kamar yang kami tempati. Jadi, setiap pagi gue bangun gue selalu denger suara lonceng si anak sapi dan suara : "MOOOOOOOOO...". Sangat khas pedesaan. Asing. Baru buat gue. Senyap. Tapi anehnya terasa sangat menenangkan sekaligus menyenangkan. Tinggal di situ beberapa hari, seakan-akan lo udah jadi penduduk situ, jadi warga jogja :)


"Nyet, kegiatan pertama kita apa?", kata gue kepada mitra dengan antusias

"Kita mandiin sapi-sapi mbah gua", jawab mitra

"Apa yg membuat lo berpikir gue mau mandiin sapi sementara mandiin adek-adek aja gue males?, lo gak liat sapi mbah lo tanduknya gede-gede apah?!", gue nyaris hipertensi...

Akhirnya gue dan mitra berkeliling desa. Di sini, kalo malem sepiiiiii, nyaris nggak ada warga yang keluar rumah lagi. Paginya gue dan mitra pergi ke pasar wage yang letaknya nggak begitu jauh dari rumah si mbah. Beli lauk buat sarapan, cuy. Gue udah bawa uang 10.000 buat bayar lauk seadanya. Sampe di warung gue minta kepada si Ibu buat bungkus : tempe orek, gudeg, dan sayur daun singkong. Si ibu memberikan porsi yg hampir cukup buat 10 orang. Dan total harganya : 7000 perak. Gue bengong. Kaget. Shock. Tak percaya. Bagaimana porsi sebanyak ini bisa segini muraahhhh?. Belom lagi es dawet di pasar wage itu. Udah gula merahnya pake gula merah asli, santennya juga enak, harganya cuma 1000 perak. Gue euforia mendadak. Perlahan-lahan terjadi proses asimilasi di

otak gue (ini efek tadi ujian psikosains) : tinggal di sini enak, suasananya tenang. Nggak kayak jakarta. Jakarta : a never ending sorrow..



- Es dwet wage

tentang beratus-ratus kilometer dari ibukota #2

Nah, apakah yang terjadi selanjutnya setelah gue bersumpah palapa di antrian loket itu?..

Pulang ke rumah. Tidur. Pegel cuy nyetir senen-setu naek motor...

Akhirnya hari yang ditunggu pun tiba!. Gue dan mitra bolang bersuka cita menyambut keberangkatan kami. Saking girangnya gue ampe lupa kereta bedebah kebanggaan mitra gue itu masih bisa membuat gue kejang-kejang. Dengan riang gue pamitan sama nyokap, menggendong daypack northface 40Lt pinjaman Om Tok dengan pongahnya..


Setibanya di kosan mitra, kami sepakat akan berangkat ke stasiun Senen pada pukul 5 (iya nggak sih, cuk?). Sebelumnya gue bertugas membayarkan uang pendaftaran wisata jelajah gunung (yang nantinya akan menjadi wisata terkonyol dan terngglinani sepanjang hidup gue) di bank. Dan si mitra ini entah kemana, pokoknya tau-tau pas berangkat dia udah bawa coklat toblerone 3 biji (yg akhirnya abis sama gue).

Singkat cerita, pukul 5 pun tiba. Gue dan mitra bolang berangkat menuju stasiun senen dengan menggunakan kereta ekspress. Turun di stasiun cikini, kemudian lanjut naik metromini ke stasiun senen. Mitra dengan bijaknya mengiyakan ajakan buat naik kereta ekspress, karena dia tau betul perjalanan kereta selanjutnya akan menyiksa batin. Untuk hal ini, dia bijak. Selebihnya, dia patut diinjak. Gue belom pernah turun di stasiun cikini, gue kira cikini itu sangat jauh. Dan memang cikini itu jauh, bodohnya...gue nggak ngeh kalo kereta yg gue naiki ini judulnya : EKSPRESS. Gue dan mitra sibuk dengan headset masing-masing, terlena dengan alunan lagu masing-masing. Sampai pada akhirnya..

"CIKINIIIIIIIIIIIIIIIII!!!".

Gue teriak kenceng sambil nunjuk plang stasiun bertuliskan 'CIKINI'. Orang-orang di sebelah kami kontan nengok panik tanpa alasan yg pasti. Kalo nggak teriak superkenceng, mungkin gue dan mitra akan terdampar di stasiun entah mana.

Pukul 9 WIB. Akhirnya kereta itu datang. Mitra bolang menyambut dengan suka cita, sementara gue menyambut dengan suka duka. Kesana kemari kami bertanya ttg gerbong kereta kami. Habisnya semua gerbong tulisannya sama : K3-3. Kami bertanya pada hampir lebih dari 3 orang yang berbeda. Dan jawabannya pun beda-beda. ASEMIK!, mau bikin gue repot apah. Kemudian kami masuk ke gerbong kereta yg ditunjuk oleh salah satu petugas. Tergopoh-gopoh seperti nenek-nenek renta. Susah cing jalannya, daypack dibelakang ketarik-tarik orang. Bener kan apa kata gue?. Kereta sudra ini kejam. Mau jalan aja susah. Setelah struggle dan adu kuat sama sekian banyak penumpang. Ketemulah seat kami berdua. Buru-buru gue tarok daypack di cabin luggage (istilah kerennya)...

Yang duduk di depan gue ini adalah seorang ibu-ibu egosentris yg dengan santainya ngelonjorin kakinya di kursi gue. Gue menatap ibu-ibu itu tidak rela. Gue juga bayar di kereta ini, bos!. Sepanjang perjalanan gue terus menatap kaki ibu-ibu itu dengan tidak rela. Dan mitra bolang tampak senang melihat berbagai macam stasiun pada malam itu. Sementara gue?.Terkena serangan maag akut..

Sial.

Suek.

Kampret.

Asemik.

Anjrit.

Serangan perut melilit ini mendera tiap 5 menit sekali. Dan berengseknya, mitra gue yang nggak tau diri ini bisa-bisanya tidur nyenyak. Pada jam-jam pertama dia memang ngemong gue penuh perhatian. Jam-jam berikutnya?, dia bahkan tidur senderan di pundak gue. Pengen gue lempar keluar jendela tu anak. Dari sekian banyak obat-obatan di tas p3k. Kenapa gue gak bawa obat maag?, buodoh kuadrat. Belum selesai penderitaan gue akan maag akut ini. Datang satu kejutan besar...

"Seorang nenek-nenek tua datang dan duduk di seat kami"
Gue diem. Langsung teringat akan sumpah palapa di antrian loket. Nenek itu pakai kebaya, dengan satu tas kecil berisi pakaian, dan satu botol aqua kecil yg isinya air teh. Sepanjang jalan gue nggak henti-hentinya questioning : ini neneknya siapa?, mana anak-anaknya?, mana cucu-cucunya?, kenapa nggak ada yg nemenin?, kemana tujuan si nenek ini?. Perpaduan antara maag dan si nenek ini lumayan bikin depresi. Gimana nggak?. Nenek ini ternyata nggak beli 'kursi', dia cuma beli tiket biasa. So basically, she dont get the seat of her own. Ahhhh, gue mendadak memikirkan si nenek. Gimana kalo nanti orang yg beli seat di sebelah kami datang?. Nenek mau duduk dimana?. Akhirnya muncul satu ide yg jelas bertolak belakang sama sumpah palapa gue :

"nyet, kalo ntar punya seat ini dateng dan gak mau ngalah. Kita ganti-gantian duduk di bawah ya, biar si mbah bisa duduk"

Satu hal yg gue dapet dari si nenek. Gue nggak tau gimana kehidupan si nenek. Pokoknya si nenek pergi ke jawa naik kereta yang bejubel ini, nggak beli seat, duduk di sebelah kami, sendirian tanpa ditemani sanak saudara. Beberapa uang lembaran yang jumlahnya nggak seberapa beliau belikan kacang rebus di kereta. Mungkin selebihnya buat ongkos nanti setiba di kampungnya. We should be thankfull of what we have. If this granny can be so easy traveling by this train, why cant I? :)

tentang beratus-ratus kilometer dari ibukota #1

Ada beberapa hal luar biasa yg sudah dan akan terjadi dalam hidup gue setahun ini. Pertama, IPK gue turun drastis. Itu luar biasa sekali, mengingat betapa gw rajin mengulang pelajaran di rumah dan betapa gw sangat berusaha memahami penjelasan dosen di depan kelas (yang ini bohong). Kedua, gue berhasil mengerami PI dan akhirnya dia berhasil menetas dengan cepat, nggak molor sampe bertahun-tahun (gue nggak nyindir siapa pun yg belom ngelarin PI, sumpah). Perlu diingat saudara-saudara, perjuangan mengerami dan menetaskan PI itu sungguh luar binasa. Bolak-balik masuk perpustakaan udah kayak bolak-balik masuk toilet. Sukurlah gue nggak harus gonta-ganti judul seenak jidat kayak gonta-ganti kancut. Dan yang ketiga, gue berhasil mendapatkan ijin buat backpacking ke jogjakarta. LUUUUAAARR BIASAAAA!. Dahulu kala bokap selalu ngomel kalo gue jalan jauh. Jalan ke Lodan/Blok M aja bisa ngomel-ngomel beliau. FYI, gue ijin 4 bulan sebelumnya buat backpacking. Dan itu pun dengan alasan, "Sekalian mau ke UGM, liat-liat". Sip kan?


Then, mulai lah gue merencanakan perjalanan kami masak-masak. Mulai dari hal yang paling sepele : kita berangkat ke sana naik apa? (dari pertanyaan ini muncul perdebatan sengit antara gue dan setan yang ngotot minta naek kereta sudra 'SENJA SENGSARA'), sampai ke hal yang paling penting : emangnya kita perlu bawa betadine spray? (pertanyaan cemen sebenernya). Soal penginapan, transportasi selama di jogja, tujuan wisata yg bakal didatengin, pokoknya semua dibahas sampe bosen. Kami bahkan udah sangat siap tempur dengan beli peta wisata terkece di gramedia.


Terjadi pergulatan batin, gue SANGAT BENCI kereta ekonomi. Bukannya sombong, tapi badan gue emang cemen. Gue masih trauma sama kendaraan darat yang satu itu. Masih terbayang betapa gerah, betapa pengap, betapa sesak, betapa panas, betapa rame suasana kereta itu. Dan sampe sekarang pun kereta itu masih nampak horor di mata gue. Tapi toh akhirnya gue ngalah dengan lapang perut, karena setelah sejuta pikir : amat sangat sayang kalo boros duit di transport. Akhirnya dengan wajah memelas, tubuh lesu, mata sayu...gue dan cucunya si mbah uti berangkat ke stasiun Senen buat beli tiket kereta ekonomi. Sore itu juga kami dapatkan tiket menuju sorga dengan harga 38.000 rupiah. Gue misuh-misuh sepanjang ngantri beli tiket, "Denger nih ya omongan gue!, biar disebelah gue nenek-nenek sekalipun...gue nggak akan NGALAH!. Survive di kereta ekonomi itu perjuangan berat, jenderal!"


Dan apakah yang terjadi?. Ntar dulu ya, gue mau bikin milo dulu, aus coy..