Monday 3 May 2010

si lampu merah

Aku sibuk mengedip-ngedipkan mataku. Percaya atau tidak, aku berkedip sekitar 4 menit sekali. Bayangkan jika matamu, yang dengan bulatan aneh berisi syaraf-syaraf penglihatan itu terbelalak tanpa mengerjap selama 4 menit. Aku jamin mata rapuhmu akan merah teriritasi.

Kalian tahu?, aku ini adalah lampu lalu lintas di persimpangan jalan yang selalu padat merayap setiap pagi, siang, sore, dan menjelang malam. Aku melengkung seksi di pinggir jalan, dengan ketiga mataku menatap jalanan tempat aku berkedip setiap hari, setiap bulan, dan seterusnya. Kuatur arus lalu lintas di jalan tempat kalian para manusia berkendara setiap harinya supaya kalian dapat berkendara dengan aman. Aku bahkan berbaik hati tidak berlama-lama menatap kalian dengan mata merahku, karena aku tahu kalian adalah manusia. Manusia yang selalu punya urusan, selalu mengejar urusan, dan selalu berhasrat ingin segera menuntaskan urusan.

Nenek moyangku dahulu hanyalah sebuah lampu sinyal tiang bertanda 'STOP' dan 'GO' yang dipancang di persimpangan jalan. Kemudian ia meledak dan menimpa seorang polisi sial yang kebetulan sedang berdiri di bawahnya. Tadinya aku tidak mengerti kenapa leluhurku itu rela bunuh diri dengan meledakkan dirinya. Ia membuat kami dimutasi gen. Di buat ulang, seakan berusaha menyempurnakan tujuan kami mengedip setiap hampir 4 menit sekali : mengatur arus lalu lintas jalanan.

Ketika aku membuka, mengedip, dan menatap daerahku berdiri pertama kalinya. Aku sungguh terkejut dan sungguh kecewa saat mendapati diriku berdiri di tempat yang sungguh tidak menarik ini. Coba lihat, jalanan kecil yang selalu padat kendaraan bermotor, udara panas, suara bising, bangunan-bangunan kecil dan besar di sepanjang jalan, dan manusia yang berjalan kaki kesana mari tidak beraturan. Oh, sungguh pemandangan yang membuatku ingin tidur saja.

Manusia para pengguna jalan ini terkadang membuatku kesal. Belum selesai aku menatap mereka dengan mata merahku, beberapa dari mereka langsung melaju begitu saja tanpa menghargaiku sedikit pun. Terkadang kudengar beberapa dari mereka mengeluhkan mengapa aku menatap mereka dengan mata merahku begitu lama. Dan sering kudengar cemooh yang membuatku ingin meledak saja, dan berharap menimpa siapa pun yang berdiri di bawahku.

"Lampu merahnya rusak kali ya?, dari tadi nggak ijo-ijo. Gw tinggal main catur kayaknya sempet deh", begitu salah satu cemooh yang kudengar suatu hari. Kutatap gadis bertubuh kecil dan berambut pendek itu lekat-lekat. Rasanya aku sering melihat manusia ini. Ya, dan ia sering menggerutu saat aku bermata merah. Dan ia lah pengendara yang paling gesit melaju saat aku berkedip hijau. Lihat kan?. Bahkan saat kuberi kedipan hijau, kalian tidak menatapku dengan pandangan terimakasih. Kalian langsung memalingkan wajah dan melaju cepat-cepat, takut aku keburu berkedip merah. Mungkin karena itu kalian panggil aku 'LAMPU MERAH'.

Padahal kalian semua tahu, aku ini adalah LAMPU LALU LINTAS. Kalian begitu tega tanpa peduli siapa aku sebenarnya. Begitu tidak sabarnya kalian memandangku saat aku mulai berkedip merah, menggerutu disaat aku berusaha mengatur tempat kalian berlalu lalang dari 4 penjuru arah yang memusingkan, dan terkadang memaki bahwa aku ini benda rusak. Hingga akhirnya, hanya mata merahku lah yang kalian ingat, bukannya mata kuning ataupun mata hijauku. Tidak pernah sekalipun aku mendengar kalian memanggilku 'LAMPU HIJAU'. Oh, kalian sungguh kompak. Apa kalian tahu?, di tempat mana pun selain tempat ini...aku dipanggil 'TRAFFIC LAMP'?. Jika nenek moyangku yang berdiri di sini, aku yakin ia akan meledak hingga membakar para tiang listrik bersaudara, dan membakar bangunan-bangunan tempat kalian bernaung.

Aku melihat dan mendengar kalian beraktifitas. Aku tahu bahwa manusia berseragam cokelat, berpeluit berisik, dan melambai-lambaikan tangannya itu kalian sebut dengan 'POLISI'. Polisi terkadang berusaha menggantikan pekerjaanku, ia berusaha mengatur jalanan yang nampaknya selalu sia-sia. Kasihan sekali mereka. Begitu banyak suara yang kudengar, sampai akhirnya aku berhenti memfilter dan mendengarkan satu-satu persatu suara kalian. Menatap kalian yang bergerak seperti angin ribut saja sudah membuatku penat, mengapa harus kutambah dengan mendengar suara kalian yang tidak kalah ribut?.

end of paragraph 'si lampu merah' 1#

No comments:

Post a Comment